Rabu, 05 November 2014

Jatuh Cinta Itu Keputusan Yang Berat

Seperti angin membadai, kau tak melihatnya. Kau merasakannya...
Seperti banjir menderas, kau tak kuasa mencegahnya. Hanya ternganga melihatnya menyeretmu hingga tenggelam...

Apa sih yang tidak bisa dilakukan cinta? Kerajaan Alengka hancur lebur oleh perang karena cinta Rahwana pada Shinta. Perang Troya tak lain tak bukan bermula dari kisah cinta Paris dan Helen dari Sparta. Kemegahan Taj Mahal pula merupakan pembuktian cinta dan kehilangan seorang Shah Jahan kepada istrinya. Bahkan kemerdekaan Indonesia, konon tak lepas dari takdir ditolaknya cinta Soekarno oleh seorang gadis Belanda.

Saya sendiri tak begitu faham soal cinta. Praktis, hanya keluarga dan Inter Milan yang seingat saya pernah saya cintai dalam jangka waktu yang benar-benar cukup lama. Selebihnya saya sangat awam. Terlalu awam. Bahkan kelewat awam.

Di hari-hari ini, kita kesulitan memberikan defenisi soal cinta. Sedemikian seringnya ia disebutkan, membuat maknanya jadi terdegradasi demikian rendahnya. Realita pergaulan anak remaja membuat kita kehilangan sakralnya cinta itu. Atau mungkin juga, karena kita tidak mengenal cinta itu sendiri. Ketidak kenalan kita padanya, membuat kita kehilangan rasa agung dan mulianya cinta. Seperti halnya kita tidak mengenal surga dan neraka, sehingga tak terbayang nikmatnya tiap menyebut surga atau tak terasa takut setiap kali melafalkan neraka.

Saya menyukai penjelasan Anis Matta soal cinta. Menurutnya jatuh cinta itu adalah sebuah keputusan yang berat. Ada taruhan kepribadian di dalamnya. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku ingin memberimu sesuatu.” Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu...” Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kita mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,” kita harus mampu membuktikan ucapan itu. Jadi jelas, cinta bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi lebih tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Karena cinta itu juga persis seperti keimanan. Ia membutuhkan hati, lisan dan tindakan. Cinta itu harus bermukim sempurna di hati, terucapkan dalam lisan serta berwujud dalam tindakan. Ia harus hadir dalam ketiga aspek tersebut untuk bisa dipanggil cinta. Hanya saja ia terefleksi dalam wujud yang kadang sedemikian absurdnya. Bahkan terkadang tak kasat mata orang lain, kecuali oleh ia yang sedang jatuh cinta itu sendiri. Bahkan seringkali juga tak kasat mata dari orang yang dicintainya pula.

Sungguh, jatuh cinta itu sebuah keputusan yang berat. Karena sejatinya perkerjaan mencintai memang bukan perkerjaan sederhana. Ia perkerjaan seumur hidup. Perkerjaan yang menuntut konsekuensi tidak sejenak. Panjang dan lama. Menuntutmu mengorbankan segalanya, waktu, harta bahkan apa saja. Terlebih berat lagi karena perkerjaan mencintai dan segala konsekuensinya ini menuntut masa kebertahanan yang lebih lama dari bertahannya keindahan fisik dan ragawi. Bisakah tetap saling mencintai ketika rambut kian memutih, kulit semakin kendur, dan bercerita tentang hal yang sama setelah bertahun-tahun menjalaninya bersama-sama.

Dan lebih dari itu, perkerjaan paling berat dari proses mencintai itu adalah menjaga kepercayaan. Tak ada cinta tanpa rasa saling percaya. Ketika perlahan rasa saling percaya memudar, maka saat itu pula perlahan-lahan cinta mulai hilang. Maka kebertahanan cinta selalu berbanding lurus dengan kebertahanan rasa saling percaya.

Ya, tapi kalau mau disederhanakan sebenarnya cinta itu sederhana saja. Bukan perkara siapa yang datang paling lama, paling pertama atau paling perhatian, dan segala macam defenisi yang dibuat orang-orang. Cinta itu tentang siapa yang datang kemudian tidak pernah pergi....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar