Rabu, 18 Juni 2014

Membangun Jembatan


Secara mendasar, manusia adalah makhluk yang materialis. Segala sesuatu dilihat secara terhingga (ada jangkauannya, misalnya pandangan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, dll), terbatas (ada bukti fisik sebagai akibat sesuatu bisa dilihat oleh mata), dan terhitung (ada jumlah bilangan dan satuannya, misalnya 1-10, A-Z,dll). 

Sementara itu, Islam seringkali mengajak manusia untuk melihat sesuatu secara tidak terhingga, tak terbatas, dan tidak terhitung (karena itulah kebanyakan produknya berwujud gaib, misalnya Tuhan, pahala, dosa, surga, neraka, kiamat, dll). 

Nah, jembatan yang akan menghubungkan dua hal yang bertolak belakang ini adalah iman. Hanya dengan imanlah manusia mampu melihat sesuatu yang ghaib di balik sesuatu yang berwujud dan terhitung. Tanpa iman, akal kita yang serba terbatas dan selalu menghitung segala sesuatu dengan perhitungan materi, tidak akan bisa tunduk pada kebesaran Allah yang wujudnya tidak pernah kita lihat. Karena itulah untuk mempercayai bahwa Allah itu ada (dan karenanya manusia lantas menyembah-Nya), manusia tidak perlu melihat wujudnya dalam bentuk-bentuk yang terhingga, terbatas, dan terhitung seperti patung, binatang ataupun benda, namun cukup dengan Iman. Begitupun pahala. Meski pahala itu tidak dapat dilihat, disentuh apalagi dipakai untuk belanja, namun keimanan telah membuat kita terus ingin mendapatkannya sebagai balasan amal-amal baik yang kita lakukan. 

Ramadhan yang akan menjelang ini, adalah bulan yang menuntut keimanan yang amat sempurna agar kita bisa meraih kemuliaannya. Bukankah Allah telah berfirman bahwa puasa itu adalah ibadahnya orang-orang beriman? Berbeda dengan sholat atau zakat, puasa adalah ibadah yang amat sangat privat. Puasa tidak kasat mata, tidak berbentuk dan tidak berwujud. Kita tidak akan bisa membedakan orang berpuasa dengan yang tidak berpuasa. Karena itu dalam sebuah hadist Qudsi, Allah berkata bahwa puasa itu adalah amalan yang diperuntukkan untuk-Nya. Dan Dia sendiri yang akan membalasnya secara langsung. 

Seperti halnya keikhlasan, puasa juga adalah sesuatu yang hanya terjadi antara kita dan Allah saja. Tanpa perantara. Hanya jembatan bernama keimanan itulah yang menjadi penghubung. Sehingga walau secara riil tidak ada orang yang melihat, namun kita tidak pernah mau diam-diam minum dengan sengaja. Karena keimanan telah mengajarkan kita bahwa Allah Maha Melihat. Begitupun kita selalu menunggu beduk maghrib benar-benar terdengar barulah akan berbuka puasa tanpa pernah korupsi waktu untuk berbuka walau cuma semenitpun. Lagi-lagi karena keimanan telah memberitahu kita bahwa puasa baru boleh di akhiri ketika telah masuk waktu maghrib. Dan iman inilah yang akan membuat kita jadi sanggup menanggung beban seberapapun beratnya. Malah merasakannya sebagai bukti cinta, bukannya sebagai beban. Seperti halnya Rasulullah dan para sahabatnya yang karena keimanan mereka, tak pernah gentar bahkan juga pada kematian sekalipun. 

Hanya dengan iman yang kuat dan kokoh, kita akan mampu menyambut ramadhan dengan kerinduan untuk menangguk pahala sebesar-besarnya, mencukur dosa hingga habis, dan mengharap cinta dari Allah. Dengan iman pula kita akan merasakan betapa lezatnya menikmati hari-hari kebersamaan dengan Allah dalam tiap rasa lapar dan dahaga kita. Dan dengan iman ini lah kita pada akhirnya akan bisa mengenal Allah lebih dekat dan lebih dekat lagi. Bukannya malah silau pada hal-hal kecil yang tidak berarti seperti menu-menu makanan yang spesial, euforia singkat televisi atau pesta pora di akhir ramadhan. 

Lalu, seperti apa kiranya jembatan keimanan yang kita miliki saat ini? Sebuah jembatan kokoh yang sanggup menanggung beban berapapun di atasnya, atau hanya sebuah jembatan tua yang rapuh dan banyak kerusakan di sana-sini. Atau jangan-jangan jembatan kita telah lama runtuh dan kita alpa untuk memperbaikinya. 

Ramadhan ini adalah saat yang tepat untuk kita kembali memperbaiki jembatan kita. Menambal bagian-bagiannya yang rusak dan memperbaharui pilar-pilarnya yang lapuk. Karena tanpa jembatan ini, maka kita tidak akan pernah sempurna menjadi seorang hamba. Kita tidak akan sempurna menjadi seorang pecinta.