Selasa, 02 Oktober 2012

Kegilaan Yang Mendarah Daging


Saat final sepak bola Sea Games kemarin, saya pertama kalinya merasakan pengalaman mengikuti acara nonton bareng. Selama ini, saya terbilang enggan untuk ikut-ikutan nonton bareng. Alasannya memang selain kenyamanan, juga karena keterbatasan jarak pandang mata saya yang memang sudah tidak sempurna namun tetap ngotot tidak mau memakai kacamata. Namun kehadiran empat orang oknum teman yang memaksa saya untuk ikut akhirnya membawa saya meninggalkan kenyamanan dan ketenangan menonton bola di rumah, dan duduk ditengah kumpulan orang-orang yang seluruh matanya terpaku pada sebuah layar super lebar.

Acara nonton bareng ini tentu bukan hanya ada di tempat saya menonton. Hampir di semua kafe layar-layar besar terpancang, menandakan disana juga mengadakan acara nonton bareng yang serupa. Orang-orang yang datangpun membludak, memenuhi kafe untuk menyaksikan laga perebutan mendali emas Sea Games cabang sepak bola itu.

Lalu kemudian, sebuah pertanyaan iseng hadir di benak saya. Apakah segala kehebohan menyambut pertandingan final ini juga terjadi di Malaysia, negara yang jadi lawan kita di final itu? Ah... saya tidak bisa menjawabnya dan juga tidak punya referensi untuk mencari tahu mengenai itu lebih jauh.



Satu-satunya hal yang bisa saya bilang adalah bahwa bangsa ini punya kegilaan yang luar biasa terhadap sepak bola. Kegilaan yang saya percaya belum tertandingi oleh negara manapun di kawasan Asia Tenggara. Kafanatismean kita mungkin hanya bisa kita jumpai di beberapa negara lain yang mempunyai fanatisme yang sama dahsyatnya macam Iran, Mesir, Turki atau negara-negara sepak bola macam Brazil dan Argentina. Kegilaa kita yang luar biasa itu malah terkadang sulit untuk difahami karena bagaimanapun, Brazil dan Argentina pernah juara dunia, Iran dan Turki juga berkali-kali tampil di pentas tertinggi Sepak Bola sejagat itu, bahkan Mesir yang masih kesulitan lolos Piala Dunia adalah penguasa sepak bola Afrika, sementara Indonesia, hanya untuk sebuah prestasi sederhana setingkat Asia tenggara sekalipun belum juga mampu kita raih hingga kini.

Di negeri saya yang gila dan sangat gila sekaligus tergila-gila pada Sepakbola, anda akan menemukan betapa permainan ini tidak hanya sekedar olah raga 22 orang yang sedang rebut-rebutan bola. Sepak bola adalah harga diri dan kejayaan. Ia telah menjadi bagian idientitas yang tidak bisa dilepaskan dari sebagian besar orang Indonesia.

Di negeri ini, orang-orang rela bergadang seminggu sekali hanya untuk menonton pertandingan sebuah tim yang seharusnya sama sekali tidak punya ikatan emosional dengan mereka. Di Maluku, sekelompok orang membakar bendera Jerman, setelah Tim Panser itu menekuk Argentina saat Piala Dunia 2010 kemaren. Kala Inter Milan menjadi juara Liga Champions Eropa tahun 2010 kemaren, beberapa teman sampai mengajak saya ikut pawai berkeliling Pontianak subuh-subuh buta untuk merayakan gelar juara yang memang sudah ditunggu puluhan tahun oleh klub kota mode tersebut. Tidak perduli meski Pontianak dan Milan sama sekali tidak ada dekat-dekatnya dan mirip-miripnya sedikitpun.

Itu malah belum seberapa. Anda jangan heran jika kemudian mendengar bahwa sebagian suporter Sepak bola negeri ini punya kegilaan dan fanatisme yang bisa jadi membuat anda terkagum-kagum sekaligus geleng-geleng kepala tidak percaya.

Lihat saja seseorang yang di Bandung akrab dipanggil Ayi Beutik. Saking cintanya ia dengan Persib, ia sampai memberi nama putra sulungnya dengan nama : Jayalah Persibku. “Persib telah memberi saya segalanya,” ujar pria yang mengaku meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang staff ahli pemetaan hanya untuk menjadi pendukung setia Persib Bandung.

Atau seperti Heru Joko, salah seorang suporter fanatik Persib lainnya. Ia tetap saja mempertaruhkan sejumlah uang untuk kemenangan Persib, walau lawan yang akan dihadapi adalah AC Milan yang sedang merajai Eropa dengan trio Belanda legendarisnya dalam sebuah laga persahabatan dimusim panas tahun 1994.

Irlan adalah contoh lain kegilaan pada sepakbola nasional. Aktifis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengaku telah menyerahkan hidupnya di jalan agama. “Tapi seperti Rasul, jalan agama bukan berarti harus melupakan dunia. Artinya gue gak mungkin meninggalkan Persija,” tukas pria berusia 30 tahun yang mengaku hanya mempunya tiga hal penting dalam hidupnya “PKS, Persija dan Manchester United!!!”

Pria keturunan Arab ini adalah salah satu contoh supporter fanatik dari klub Persija Jakarta. Kehidupan sehari-harinya dijalani sebagai seorang pegawai di restoran waralaba asing. Ia pun dikenal sebagai seorang da’i sekaligus kader dari PKS yang dikenal sebagai partai islam berbasiskan pengajian-pengajian. Tapi jika sudah turun di stadion, Irlan bagai berubah total. “Kalau tim kita main, gak ada supporter lawan boleh rese’!” tegasnya. Jika ada yang berani macam-macam, ia akan berdiri paling depan menghantam lawan, jika perlu sampai terkapar kelojotan.

Secara kasat mata, kita semua bisa melihat kegilaan itu terefleksi kala stadion Gelora Bung Karno selalu saja penuh tiap kali sebelas lelaki dengan garuda di dadanya turun bertanding. Kegilaan yang berpadu dengan kehausan akan prestasi yang bahkan tidak jarang berakibat sangat fatal. Final Sea Games kemarin yang merenggut dua nyawa suporter Indonesia adalah satu diantaranya.

“Delapan puluh persen orang Indonesia suka Sepakbola, lima puluh persen diantaranya rela mati karenanya!” begitulah salah seorang pengamat sepak bola tanah air menggambarkan permainan yang begitu dicintai ini.

Jika masih perlu bukti fanatisme ini, anda boleh liat bagaimana para Bonek dari Surabaya bisa membanjiri Jakarta yang jaraknya kurang lebih 1200 km atau setara Paris-Muenchen hanya dengan modal sekitar 10 ribu rupiah atau kurang dari 1 Euro. Anda juga tidak perlu jauh-jauh menyaksikan Spurs-Arsenal untuk belajar apa itu rivalitas, cukup pergi ke Bandung, nonton Persib lawan Persija dan lihat apa yang terjadi.

Ah... Rasanya cukup sudah sekian kisah tadi menggambarkan betapa kegilaan sebagian besar orang di republik ini pada sepak bola sudah sangat mendarah daging. Kegilaan yang sejatinya menyimpan potensi komersialisasi super besar yang jika dikelola dengan benar bukan tidak mungkin menjadikan sepak bola Indonesia sebuah industri yang tidak kalah dahsyat dengan Jerman, Italy, Spanyol atau bahkan Inggris.

Namun entah mengapa sepak bola kita tidak pernah benar-benar bisa melangkah maju. Ketua PSSI yang baru telah dipilih. Komite Eksekutif PSSI-pun telah dibentuk. Tapi awan mendung seolah tidak mau pergi dari dunia sepak bola Indonesia. Beberapa kebijakan kontroversial dari pengurus PSSI yang baru ini, membuat sebagian pecinta bola tanah air (termasuk saya) jadi berfikir bahwa kini setelah lepas dari mulut buaya, sepak bola Indonesia justru terjerembab ke dalam mulut singa.

Dualisme kompetisi yang kian kusut dan rumit ini adalah hasil dari kegagalan rekonsiliasi kubu-kubu di dalam PSSI yang selama ini bertikai. Terlebih, nampak jelas kepengurusan PSSI yang baru ini, sangat kental dengan aroma kelompok-kelompok tertentu sehingga dengan gegabah mengacak-acak sistem kompetisi yang sudah ada, guna mengakomodir kepentingan kelompoknya. Semakin parah karena di dalam internal PSSI sendiri pun mulai terjadi perpecahan.

“Sepak bola adalah refleksi sebuah bangsa!” ujar Franz Beckenbauer. Kaisar sepak bola jerman itu memang tidak salah. Segala carut-marut ditubuh PSSI dan dualisme kompetisi ini adalah cerminan betapa juga carut-marutnya bangsa ini secara keseluruhan. Segala hiruk pikuk yang kita saksikan ini terasa sangat tidak asing, karena memang ini jugalah yang akrab kita tonton tiap hari selalu terjadi di ruang kerja kabinet dan gedung parlemen.

Ada segepok pekerjaan rumah yang harusnya segera diperbaiki oleh seluruh stakeholder sepak bola terutama PSSI. Pembinaan usia muda, kompetisi yang profesional, industrialisasi sepak bola, dan pada akhirnya tentu saja meraih prestasi adalah sekian banyak tugas yang harusnya segera di tuntaskan oleh federasi tertinggi sepak bola tanah air tersebut. Tapi bukannya mencoba serius untuk membenahi itu semua, mereka malah terlalu sering menghabiskan energi bertikai untuk hal-hal tidak penting atas nama ego dan kepentingan.

PSSI bukan milik segelintir orang. PSSI adalah milik seluruh klub sepak bola nasional. PSSI adalah milik seluruh pengila sepak bola tanah air. PSSI adalah milik Aremania, Jakmania atau apapun itu kelompok supporter di Indonesia. Dan PSSI adalah milik seluruh bangsa Indonesia.

Hari ini, sepak bola Indonesia sedang berada dalam masa tersuramnya. LPI yang dahulu menjadi simbol perlawanan namun kemudian tiba-tiba saja dibubarkan tanpa kejelasan, kini malah saya anggap sebagai blunder terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia. Dan seperti yang saya yakini sebelumnya, turunnya Nurdin Halid memang bukanlah segalanya. Bahwa sepak bola Indonesia hanya bisa maju dengan sebuah revolusi sistem dan mekanisme bukan lewat kudeta seorang ketua.

Sekali lagi, kegilaan kita yang mendarah daging pada permainan luar biasa ini, harusnya menjadi energi besar untuk memajukan sepak bola Indonesia. Bahwa sepak bola adalah alat efektif untuk membuat negeri ini bangga dan bahagia. Bahwa sepak bola ini bukan lagi sekedar permainan 22 orang yang sedang rebut-rebutan bola, tapi juga tidak jarang menyangkut persoalan harga diri dan kejayaan. Dan harusnya pengurus PSSI bisa memahami semua itu.

Selasa, 18 September 2012

Mengenal Sosok Sultan Hamid II : Nasionalisme Sang Federalis

“Sejak lahirnya, organisasi ini ditujukan pada tercapainya kemerdekaan tanah air kita, kemerdekaan untuk segenap bagian tanah air kita, dan untuk mencapai suatu persatuan yang dapat menjamin kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagian-bagiannya,” suara lelaki keturunan melayu-arab itu menggema memenuhi ruangan istana kepresidenan RI di Yogyakarta. Ia memang tidak seulung sang orator, Soekarno, tapi tak pelak semua orang di ruangan itu menyutujui apa yang diucapkannya.

Hari itu, 19 Juli 1949. Di Yogyakarta sedang dihelat sebuah pertemuan super penting dalam sejarah negeri ini. Tepat setahun sebelum diadakannya pertemuan penting lainnya yang kemudian kita kenal dengan sebutan Ronde Tafel Conferentie atau Konfrensi Meja Bundar.

Ya, hari itu adalah hari pertama Konfrensi Inter-Indonesia (KII). Dan lelaki tampan yang berbicara untuk pembukaan konfrensi tersebut adalah pemimpin Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), sebuah organisasi kerjasama dari pemimpin negara-negara federal yang terbentuk pasca perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville. Dialah Sultan Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie, atau dalam sejarah bangsa ini lebih dikenal dengan gelar kesultanannya, Sultan Hamid II. Sultan kedelapan dinasti Al-Qadrie dari kesultanan Pontianak sekaligus kepala negara Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).

Setahun setelah Konfrensi Inter-Indonesia yang berhasil menemukan kesamaan kata antara BFO dan NRI (Negara Republik Indonesia), dilaksanakanlah Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Hag, Belanda. Dalam pertemuan itu, Sultan Hamid II menjadi pemimpin delegasi BFO. Sementara delegasi Indonesia (NRI) dipimpin oleh Mohammad Hatta, dan delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseven.

Akhir dari konfrensi ini adalah Negara Belanda dan Negara Republik Indonesia (NRI) sama-sama menyerahkan kedaulatan kepada sebuah negara baru yang merdeka dan berdaulat bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam RIS, selain NRI, juga akan bergabung negara-negara yang sudah terhimpun dalam BFO. Pada titik inilah sesungguhnya Indonesia baru benar-benar meraih kemerdekaannya baik secara defacto maupun yuridis.

Saya dan sebagian besar generasi ini, bukan orang-orang yang merasakan langsung gegap gempitanya era itu. Kami juga hanya mengenal nama-nama penting masa itu dari literatur-literatur sejarah yang terus saja diajarkan kepada kami semenjak dari bangku pendidikan paling dasar. Dan kami tak pernah tahu, entah kemana hilangnya nama Sultan Hamid II serta peran besarnya bagi bangsa ini hingga alpa untuk dikisahkan pada generasi kami.

Sejarah bangsa ini lupa mencatat namanya meski peran sang pewaris tahta terakhir kesultanan pontianak itu sangatlah besar. Kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada RIS tidak terlepas dari usahanya yang memang memiliki kedekatan dengan Ratu Juliana karena pernah menjadi Asisten Ratu Kerajaan Belanda. Belum lagi peran beliau yang juga merupakan perancang Garuda Pancasila yang hingga kini masih kita pakai sebagai lambang negara. Orang mengenal WR Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya. Orang mengingat Ibu Fatmawati sebagai penjahit bendera pusaka merah putih. Namun sedikit sekali yang mengingat Sultan Hamid II sebagai perancang Garuda Pancasila, padahal dalam tiap laga sepak bola tim nasional, kita selalu saja meneriakkan “Garuda di dadaku!” dengan segenap rasa patriotisme yang kita miliki.

Jika sejarah bangsa ini lebih banyak mencatat Sultan Hamid II sebagai pengkhinat bangsa, hal ini tentu harus diluruskan. Ia adalah orang yang tetap memilih berada dalam naungan Republik Indonesia Serikat di meja runding KMB padahal kala itu sebenarnya Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) adalah satuan kenegaraan sendiri yang bahkan sudah resmi terdaftar di PBB. Jika saja mau, sang sultan bisa saja memilih membawa daerah yang dipimpinnya itu untuk menjadi negara merdeka yang terpisah dari Indonesia. Namun karena rasa nasionalisme beliau, DIKB tetap bergabung dengan RIS setelah sidang KMB 1949. Tapi entah mengapa masih saja ada yang meragukan rasa kebangsaannya hanya karena ia menganggap federalisme adalah sistem yang lebih cocok untuk negara ini ketimbang unitarisme (negara kesatuan) yang saat itu lebih disukai oleh tokoh-tokoh bangsa di republik ini.

Kini, hampir 35 tahun setelah Sultan Hamid II wafat, bangsa ini seharusnya menyadari kebenaran pandangan-pandangan visioner beliau. Sentralisme segala bidang yang berlangsung bertahun-tahun membuat adanya disparitas ekonomi, pendidikan dan pembangunan antara pusat dan daerah yang sedemikian jauh. Akibatnya, disintegrasi bangsa yang dulu menjadi alasan para tokoh negeri ini menolak sistem federal, kini justru tumbuh di negeri yang menyebut dirinya Negara Kesatuan, namun tak sanggup memberikan kesejahteraan yang adil keseluruh masyarakatnya. Otonomi daerah yang diberlakukan sekarang mungkin belum terlambat, tapi jika kita mengingat bahwa gagasan-gagasan serupa pernah disuarakan oleh seorang tokoh nasional berpuluh-puluh tahun silam, tentu otonomi yang ada ini menjadi sangat terlambat.

Generasi ini mengenal sosok Sultan Hamid II hanya sebagai potongan fragmen sejarah yang tersingkirkan. Tidak ada namanya di deretan daftar nama Pahlawan Nasional. Tidak juga jasa-jasa besarnya kita baca dalam buku-buku pelajaran sejarah di berbagai jenjang pendidikan secara lengkap. Namanya malah lebih sering dikait-kaitkan dengan pemberontakan Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang sudah dinyatakan tidak terbukti kebenarannya oleh banyak pakar hukum dan ahli sejarah.

Sejarah adalah alat untuk bercermin. Bangsa ini harus meluruskan kembali catatan sejarah yang pernah dikeruhkan oleh tangan-tangan kekuasaan dan kepentingan sejak lama. Semuanya agar generasi bangsa ini bisa melihat sejarahnya dengan jernih dan menjadikannya tempat berpijak untuk melangkah ke depan. Juga agar orang-orang hebat seperti Sultan Hamid II beserta pemikiran-pemikirannya tidak hilang dari ingatan.

Sultan Hamid II adalah salah seorang putra terbaik yang pernah dimiliki Kalimantan Barat. Ia adalah inspirasi perjuangan bagi generasi muda bangsa ini, dan Kalbar pada khususnya. Ia adalah bukti bahwa sejarah bangsa ini tidak hanya melulu dicatat dengan latar Jakarta atau Yogyakarta. Tapi juga dengan latar dan wajah daerah semisal Pontianak atau Kalimantan Barat.

Jika semenjak dibubarkannya Daerah Keistimewaan Kalimantan Barat (DIKB) di penghujung tahun 1950, hilang jugalah kekhususan dan kemandirian Kalbar yang dahulu sempat diwujudkan oleh Sultan Hamid II dan para raja, sultan, penembahan dan para tokoh masyarakat Kalimantan Barat kala itu. Namun bukan berarti padam jugalah perjuangan untuk meraih kembali kemandirian dan keistimewaan daerah ini. Generasi muda Kalbar hari inilah yang berkewajiban meneruskan semangat Sultan Hamid II yang menginginkan masyarakat Kalbar yang maju dan sejajar dengan Jakarta yang pada eranya dahulu menjadi tempat terpusatnya pembangunan.

Saya percaya Kalimantan Barat mempunyai segalanya untuk maju dan sejajar dengan daerah lain. Yang harus dilakukan saat ini adalah mengerahkan segala energi yang dipunya untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan sejati. Kemerdekaan yang terwujud dalam keadilan dan kesejahteraan. Kemerdekaan seperti yang dicita-citakan oleh Sultan Hamid II yang juga saya kutip di awal tulisan ini: “Kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagian-bagiannya.”

Kamis, 19 Juli 2012

Ramadhan, Mengapa Kau Menemuiku Lagi?



Pernahkah kita bertanya seperti ini? Hmm, mungkin tidak. Karena memang bulan ini sudah dinanti-nantikan oleh banyak orang dengan banyak alasannya masing-masing. Ramadhan terlalu istimewa untuk dianggap biasa-biasa saja. Dan tanpa perlu menganggapnya biasa, toh memang di bulan ini tidak biasa.

Mulai dari sms ucapan selamat dan permohonan maaf yang memenuhi inbox HP, parade tayangan televisi yang menyaru wajah islami, kegaduhan setiap kali penentuan awal ramadhan, aneka hidangan yang dijajakan sampai memenuhi pinggir jalanan, baju baru, sejadah baru, mukena baru, ataupun segala hiruk pikuk menjelang akhir ramadhan. Juga dalam praktik ibadah kita. Sahur, tarawih, puasa sebulan penuh, tadarusan, i'tikaf dan hujan motivasi untuk menjadikan ramadhan ini lebih dari bulan-bulan biasa. Sesuatu yang mungkin tidak ada (dan tidak sanggup kita laksanakan) di bulan-bulan lainnya. Dan memang ramadhan tidak seperti bulan biasanya. Ia bukan bulan biasa.

Jadi wajar jika semua orang menantikannya. Menunggu kehadirannya.

Tapi mungkin juga, mungkin juga ada orang-orang yang tidak merasa cukup repot untuk bergembira menyambut kedatangan ramadhan. Mungkin ramadhan hanya sebuah rutinitas. Bahkan, bisa jadi sebuah beban. SALAHKAH? Hm... entahlah. Silahkan saja jika anda ingin memvonis begitu. Karena jika aku tinggal di Alaska yang waktu malam dimusim panasnya hanya sekitar 2 jam, mungkin saja iman ku tidak cukup tebal untuk tidak menganggap ramadhan sebagai sebuah beban. Syukurlah, Allah tahu seberapa tebal imanku, dan Dia membuat aku lahir di negeri ini, Indonesia.

Ramadhan, mengapa kau menemuiku lagi?

Pertanyaan itulah yang ada di kepala ku malam ini. Jarak kita sudah sedemikian dekat. Aromamu telah sampai kemari. Tapi masih saja tidak bisa ku mengerti mengapa kau datang menemuiku kembali. Aku tidak menganggapmu sebagai beban. Aku juga tidak ingin menganggapmu sebuah rutinitas tahunan. Dan aku juga tidak ingin menganggapmu sekedar aksesoris artifisial yang telah menyibukkan banyak orang. Selamat datang Ramadhan, dan mengapa kau menemuiku lagi?

Aku mengenang pristiwa yang lalu. Slide ramadhan terakhirku kumainkan ulang di proyektor otakku. Hm... adakah yang bersisa dari ramadhanku setahun yang lalu. Ah, kata-kata "Kembali Fitrah" itu sungguh tak punya makna di dunia nyata. Karena sebelas bulan yang berlalu, ramadhan seperti telah aku lupakan dari ingatan. Bahkan ibadah-ibadah sederhana yang tidak sempurna di 30 hari itu, tak juga bersisa dalam hari-hari lainnya. Malah tabungan dosa terus saja terakumulasi dalam tumpukan yang semakin tinggi. Mengotori kembali kebersihan hati selepas ramadhan yang sebenarnya juga belum tentu benar-benar sudah tercuci bersih. Ramadhan itu tak terefleksi dalam hari-hari. Dan segalanya di ramadhan kemarin itu tak juga mampu mengubah bulir-bulir dosa menjadi langkah-langkah takwa.

Aku hanya ingin bertanya, mengapa kau menemuiku lagi Ramadhan? Mengapa kau mengizinkan aku menemui mu kembali? Mengapa kau masih sudi datang padaku, dengan segala kebodohanku setahun ini. Rasa-rasanya aku tidak cukup pantas menerima kehadiranmu. Rasa-rasanya, pamanku yang sangat ringan tangan bersedekah, yang  meninggal dua minggu yang lalu, jauh lebih pantas bertemu denganmu. Atau bahkan Ayahku yang meninggal dua tahun lalu, yang selalu bersemangat sholat berjamaah di masjid, berkali-kali jauh lebih pantas menemuimu ketimbang aku yang penuh kemunafikan dan kemaksiatan.

Tapi kau menemuiku. Kau mendatangiku. Membiarkan aku kembali menikmati tsunami rahmat dan bentangan ampunan di siang dan malam-malammu. Memperbolehkan aku mencicipi lezatnya beribadah bersamamu. Mengizinkan aku merasakan limpahan ampunan, yang mungkin kembali akan aku kotori dengan kemaksiatan di kemudian hari. Terima Kasih. Terima Kasih kau masih mau hadir meski aku sebenarnya tak pantas mendapatkan semua itu. Mengutip seperti yang Fahd Djibran katakan "Terima kasih telah selalu datang dan pergi dengan senang hati, tanpa mempedulikan kemunafikan, kemaksiatan, dan kebebalan kami."

Ramadhan, aku ingin mengenalmu lebih dalam. Agar kau tidak sekedar kumaknai sebagai penambahan jumlah rakaat ruku dan sujud. Agar kau tidak sekedar mengosongkan perut di siang hari dan membenamkan kepala di alas sujud setiap malam hari. Agar kau tidak hanya tentang berlomba-lomba membaca baris-baris firman sebanyak-banyaknya. Tapi agar semua ini benar-benar akan membawa aku menjadi semakin dekat dengan DIA. Agar kau bisa mengantarkan aku pada cinta yang sebenar-benarnya kepada-Nya.

Tahun ini, aku mungkin tidak akan mengirim sms "Selamat Ramadhan" kepada siapapun. Aku hanya ingin menyambut kehadiranmu: Selamat datang Ramadhan, dan mengapa kau mau menemuiku lagi? (Dan tulisan ini mungkin juga bagian kemunafikanku yang lainnya)

Kamis, 28 Juni 2012

Benci Sinetron

Kalau saya bilang sinetron, apa yang ada di dalam kepala anda? Sebagian mungkin akan menyebutkan beberapa judul sinetron favoritnya, lengkap dengan nama para pemainnya berserta ringkasan garis besar cerita dan konfliknya.

Tapi barangkali ada juga sebagian yang akan antipati dan bersikap skeptis. Seorang kawan bahkan berniat untuk membuat gerakan benci sinetron di twitter. Alasannya adalah karena sinetron Indonesia sudah sangat tidak mendidik. Bahkan termasuk pula sinetron-sinetron yang mengakunya berlabel islami.

Kalau melihat sejarahnya sendiri, perkembangan sinetron dimulai di era 90-an tatkala industri pertelevisian tanah air mulai tumbuh. Bukan berarti sebelumnya tidak ada sinetron. Di era sebelumnya sebenarnya sudah ada beberapa judul seri sinema televisi yang diproduksi. Namun karena kala itu siaran televisi masih dimonopoli oleh pemerintah, perkembangan sinetron Indonesia masih terbilang statis dan minim diversifikasi.

Saat televisi-televisi swasta mulai bermunculan di pertengahan tahun 90-an, perkembangan sinetron semakin pesat. Dengan position-nya yang menjadi tontonan keluarga, sinetron menjadi primadona di dunia pertelevisian dan berandil besar turut nyaris mematikan dunia perfilman tanah air.

Memasuki era 2000-an sinetron terus mengalami perkembangan. Berbagai trend datang dan pergi silih berganti. Mulai dari drama percintaan, horror hingga tema-tema religi. Di era ini pula mulai muncul trend produksi sinetron baru yaitu sinetron striping. Jika dahulu sinetron hanya bisa dinikmati secara mingguan, kini nyaris semua sinetron di produksi dan tayang secara harian, bahkan ada yang memiliki durasi sampai berjam-jam.

Namun satu hal yang nyaris selalu menjadi cirri khas di kebanyakan sinetron Indonesia adalah konfliknya yang penuh dengan intrik. Demi membuat cerita yang menarik, sinetron dibumbui dengan konflik yang sangat tajam hingga kadang agak berlebihan dan cenderung tidak mendidik. Hal inilah yang sering kali menumbuhkan sikap antipati beberapa kalangan masyarakat. Apalagi sinetron-sinetron ini biasanya tayang di waktu-waktu prime time, di saat-saat berkumpulnya keluarga.

Belum lagi kalau kita membicarakan soal kualitas. Dengan sistem produksi yang sehari jadi, tentu saja menjaga kualitas sinetron menjadi sebuah pertanyaan. Waktu produksi yang sangat singkat itu tentu tidak akan cukup untuk menghasilkan kualitas sinetron yang benar-benar maksimal. Bandingkan saja misalnya dengan sebuah produksi film yang untuk pendalaman karakter para pemainnya saja, terkadang menghabiskan waktu sampai berbulan-bulan.

Nah, jika kita melihat realita yang ada sekarang, tidak bisa dipungkiri memang, bahwa sinetron-sinetron Indonesia cenderung memprihatinkan. Mungkin karena tuntutan bisnis, sinetron yang di produksi kini semakin terlihat asal-asalan. Baik itu dari sisi tema dan cerita, maupun produksinya. Belum lagi semakin minimnya pesan-pesan sosial yang terkandung dalam sinetron-sinetron yang ada. Semuanya hanya menjadi tontonan belaka tanpa adanya “sesuatu” yang bisa diambil. Bahkan tidak jarang sinetron malah penuh dengan nilai-nilai yang merusak dan malah tidak mendidik.

Tentu hal ini bukan sesuatu yang bisa kita abaikan begitu saja. Dengan posisi dan perannya yang sangat strategis, jelas sinetron harusnya bisa mengambil peran sebagai alat penerangan dan pendidikan yang mempunyai pengaruh yang besar kapada masyarakat. Bukan sekedar barang dagangan.

Karena itulah, seharusnya sinetron Indonesia tidak lagi hanya mengedepankan sisi komerialismenya. Sebuah sinetron haruslah sarat dengan pesan-pesan dan kritik sosial. Sinetron, seperti juga halnya film, selayaknya mampu mempresentasikan wajah masyarakatnya. Menjalankan fungsinya sebagai arsip sosial yang menangkap jiwa zaman pada setiap masanya.

Tentu ini menjadi tugas kita semua. Terutama kita para penikmat sinetron Indonesia. Meski katanya kita bukan Negara kapitalis, tapi kalau boleh jujur, hampir semua industri di tanah air ini bergantung pada apa kata pasar. Begitupun industri pertelevisian yang sangat mendengar perhitungan rating. Karena itu, sebenarnya semua bergantung pada kita. Kecerdasan kita dalam memilih sinetron yang bagus atau jeleklah yang akan menentukan seperti apa sinetron yang nantinya akan hadir di layar kaca televisi kita. Seorang teman pernah menganjurkan untuk mengirim e-mail keberatan kepada stasiun tv yang kita anggap menayangkan sinetron yang kurang mendidik. Saya rasa ide ini patut dicoba. Jika saya seorang yang melakukannya mungkin tidak akan berarti apa-apa. Tapi jika ada satu juta orang yang mengirimkan e-mail dengan nada keberatan yang sama seperti itu, saya rasa stasiun tv manapun tidak akan mengabaikannya begitu saja. So, jadilah penonton televisi yang cerdas ya.

Saya juga sendiri merindukan sinetron yang diproduksi dengan idealisme dan kreativitas tinggi. Namun saya tidak akan bilang saya benci sinetron, tapi saya cuma akan bilang, saya benci sinetron yang jelek!

Sebagai tambahan saja, kalau banyak sinetron Indonesia yang cenderung kurang berkualitas dan minim pesan sosial, tapi bukan tidak ada sinetron yang bagus lho. Saya sendiri punya 5 sinetron favorit yang menurut saya sangat bagus dan cocok ditonton oleh keluarga. Berikut review-nya:

1. Keluarga Cemara



Selamat pagi emak/ Selamat pagi Abah/ Mentari hari ini bersinar cerah//

Jika anda seumuran dengan saya, tentu anda tidak asing dengan lagu tersebut. Keluarg Cemara berkisah tentang sebuah keluarganya yang dahulunya kaya kemudian jatuh miskin. Dengan kisah berpusat pada Abah, Emak dan tiga putrinya (Kalo nggak salah namanya Euis, Ara, dan Agil) sinetron ini mengandung banyak hikmah terutama tentang pentingnya arti sebuah keluarga. Saya yakin sampai hari ini masih banyak yang mengingat sinetron ini sebagai salah satu tontonan yang memorable.

2. Si Doel Anak Sekolah



Untuk sinetron yang satu ini, saya yakin tidak asing bagi siapa saja. Serinya masih saja sering ditayang ulang meski produksi aslinya sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga betawi ditengah arus modernisasi kota Jakarta. Kekocakan khas betawi yang menggelitik, alur cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari ditambah pula ke unikan karakter tokoh-tokohnya, membuat pesan sosial di dalamnya menjadi tidak terasa berat. Sinetron ini dengan baik menggambarkan bagaimana masyarakat betawi yang sederhana (baik dari ekonomi juga dari pemikiran) harus dihadapkan dengan himpitan perkembangan zaman di kota mereka sendiri yang semakin maju. Salah satu sinetron yang saya yakini sebagai salah satu yang tersukses hingga kini.

3. Kiamat Sudah Dekat



Diangkat dari film berjudul sama, sinetron Kiamat Sudah Dekat malah meraih sukses melebihi filmnya sendiri. Konon presiden RI sendiri sampai merasa perlu memberikan apresiasi terhadap sinetron ini. Jika di film kisah sentral cerita berpusat pada kisah cinta Fandi dan Sarah, maka di sinetronnya ini, cerita lebih terfokus pada kehidupan orang-orang di sekitar mereka keduanya. Dengan komedi khas karya-karya Dedi Mizwar, sinetron ini terasa sangat menghibur, namun penuh dengan ironi-ironi yang kental dengan nuansa religi yang secara tidak sadar sebenarnya sedang menyentil kita.

4. Lorong Waktu



Jika Cinta Fitri bisa sampai banyak season-nya, maka Lorong Waktu adalah sinetron yang meski sudah mencapai season kesekian namun tetap saja menarik untuk ditonton. Bisa dibilang ini awal dari kesuksesan Dedi Mizwar menggarap sinetron ramadhan. Bercerita tentang trio Ustadz Adin, Haji Husin dan Zidan yang memiliki alat bernama lorong waktu. Dengan alat tersebut mereka bisa masuk ke dalam rekonstruksi masa lalu ataupun masa depan sesuai dengan yang mereka inginkan. Dengan segala ke unikan karakter ketiganya, mereka belajar hikmah dari berbagai macam pristiwa yang mereka temukan di lorong waktu. Pada masanya dahulu sinetron ini adalah salah satu acara ramadhan yang tidak pernah saya lewatkan. Sampai saat ini saya berharap agar sinetron ini bisa ditayang ulang. Sekedar untuk nostalgia.

5. Rinduku Cinta-Mu


Saya tidak cukup banyak mengingat detail sinetron ini. Namun sinetron ini sangat berkesan. Ditayangkan agak terlalu malam di bulan ramadhan, saya rasa menjadi salah satu faktor yang membuat sinetron ini tidak cukup mendapat apresiasi, meski secara kualitas sangat bagus. Berkisah tentang seorang insyinyur pertanian yang memilih untuk kembali ke desa dan hidup sederhana sebagai seorang petani. Segala dinamika masyarakat pedesaan terasa sangat hidup saat diangkat dalam sinetron ini. Sarat dengan hikmah dan pesan moral. Ditamnbah kualitas akting para bintangnya yang nggak kalah dengan film. Selain itu, jika kebanyakan sinetron yang diproduseri Dedi Mizwar cenderung lebih banyak yang komedi, maka Rinduku Cinta-Mu adalah salah satu dari sedikit sinetronnya yang bukan sinetron komedi islami namun tetap sarat dengan nilai islam dan tetap menarik. Bahkan menurut saya lebih menarik dari Para Pencari Tuhan yang juga tayang di bulan puasa yang sama. Sekali lagi sayangnya, tayangnya sinetron malam banget (maklum bulan puasa, jadi harus mikirin sahur), namun saya rasa cukup worthed asalkan tidak mengganggu ibadah Ramadhan kita.

Nah, itu dia 5 sinetron favorit saya. Hampir semuanya memang tidak lagi ditayangkan. Bahkan jangan-jangan ada diantara anda yang belum pernah mendengar judul tersebut sama sekali. Tapi yang penting, saya rasa sinetron-sinetron hebat semacam ini lebih layak kita tonton, ketimbang kebanyakan sinetron hari ini yang ceritanya nggak jauh-jauh dari gadis miskin yang nikah sama orang kaya yang ditentang sama mertua yang kemudian berlanjut ke perebutan harta, gara-gara si orang kaya ternyata bukan anak kandung dan tertukar waktu masih bayi. Atau cerita tentang orang-orang yang jahatnya kelewatan dan kejamnya minta ampun tapi kemudian tiba-tiba jadi tobat semua waktu udah tinggal sehari lagi mau lebaran.

Sebenarnya selain daftar di atas masih banyak sinetron-sinetron lain yang nggak kalah bagusnya seperti Wiro Sableng, Lupus Milenia, Catatan Harian Nayla, atau Para Pencari Tuhan (anda pun mungkin punya daftarnya sendiri). Tapi kaena keterbatasan tempat tentu nggak semua bisa dimasukkan di sini. Namun pada intinya, saya hanya ingin mengajak kita semua peduli, bahwa kualitas sinetron tanah air sudah sangat mengkhawatirkan. Sebagai tolak ukur sederhana tengok saja pemenang penghargaan Panasonic Award 2012 kemaren (yang konon jadi ajang penghargaan tertinggi insan pertelevisian Indonesia). Dan lihat sinetron model seperti apa yang dianggap sebagai yang terbaik di negeri ini, saat ini.