Kamis, 22 Agustus 2013

Indonesia Raya, Amiiiin...


Beberapa anak-anak sedang mengadakan upacara bendera. Seperti selayaknya upacara bendera, ketika sang dwi warna dikerek mendaki tiang yang dibuat seadanya, sebagian anak-anak itu menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Indonesia Raya, merdeka, merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia raya....
Amiiin.....

Dipenghujung lagu Indonesia Raya tersebut, seorang bocah yang paling kecil diantara yang lainnya menambahkan kata amiiin. Sejenak teman-temannya saling pandang kebingungan. Namun kemudian ikutan mengatakan Amiiin.

Masih ingat bukan dengan adegan ini? Ya, ini hanyalah sebuah lakon dari film besutan Dedi Mizwar, Alangkah Lucunya (Negeri Ini) beberapa tahun yang lalu. Sebuah film yang ketika menontonnya sukses membuat saya tertawa, termasuk di adegan yang satu ini.

Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) bisa jadi adalah cara yang paling sederhana untuk membetot kesadaran kita. Bahwa di negeri yang kita cintai setengah mati ini ada begitu banyak ironi yang bisa membuat kita tertawa terbahak-bahak sekaligus menampar diri kita sendiri dan menyadarkan kita, yah... memang beginilah Indonesia.

Peringatan hari kemerdekaan tahun ini menandai usia 68 tahun bangsa merdeka ini. Dan saya sampai sekarang masih berusaha mempercayai bahwa guru-guru saya di sekolah dasar dulu tidak sengaja berbohong dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang besar. Negara yang pantas dibanggakan. Indonesia yang negara agraris. Indonesia yang negara maritim. Indonesia yang kaya akan segalanya.

Saya dan generasi ini akan terus mencoba berprasangka baik bahwa guru-guru kami tak berniat membohongi kami dengan bualan bahwa negeri ini sedemikian pentingnya dipercaturan dunia. Mendongengkan kami bahwa negeri ini terletak diantara dua benua serta diapit oleh dua samudra, sehingga seluruh bangsa-bangsa di dunia ini berlomba-lomba untuk menjajahnya. Menganggap bahwa negeri ini berperadaban dan berkebudayaan tinggi, padahal dalam realitanya orang kita bahkan banyak tidak pernah mampu belajar bagaimana antri dengan benar.

Sungguh, dalam 68 tahun usia negeri ini, kami masih mencoba percaya bahwa Indonesia di dirikan dengan sebuah cita-cita mulia. Lahir dari buah pemikiran hebat para founding father bangsa yang telah berkorban banyak hal untuk kemerdekaan. Kemerdekaan yang oleh mereka sendiri, digambarkan bertujuan untuk "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia."

Menginjak usia yang ke 68 tahun, kami dari generasi yang terpisah lebih dari separuh abad dari perjuangan mengharu biru mengibarkan sang saka merah putih ini, sedang berusaha meyakinkan diri kami sendiri setengah mati, bahwa bendera yang tiap pekan kami hormati itu punya makna yang lebih dari sekedar selembar kain berwarna merah dan putih biasa. Bahwa lagu Indonesia Raya tak sekedar gubahan orkestra biasa tanpa makna apa-apa dibaliknya. Bahwa Pancasila bukan sekedar omong kosong belaka tapi sebuah cita-cita sekaligus doa untuk masa depan Indonesia.

Di 28 Oktober 1928, ketika seorang pemuda kurus bernama Wage Rudlof Supratman memainkan biolanya dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, mungkin ia membayangkan Indonesia yang merdeka. Indonesia yang sejahtera. Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah-nya. 

Hiduplah tanahku, hiduplah negriku 
Bangsaku rakyatku, semuanya 
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya 
Untuk Indonesia Raya... 

Bertahun-tahun lamanya ratusan orang di negeri ini juga menyanyikan lagu ini penuh kebanggaan, sambil berharap apa yang dicita-citakan WR Supratman ini bukan sekedar mimpi siang bolong. Walau dalam realitanya mereka selalu dan selalu dibuat kecewa oleh penguasa bangsanya. 

Indonesia, tanah airku, tanah tumpah darahku 
Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku 
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah air ku 
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu... 

Semoga para pemuda Indonesia masih percaya. Masih percaya bahwa Indonesia adalah negeri yang besar. Negeri yang bercita-cita luhur melindungi dan menyejahterakan seluruh rakyat. Semoga kita masih percaya bahwa cita-cita bapak pendiri bangsa ini bukan sekedar omong kosong atau mimpi siang bolong. Sambil sedikit-sedikit mari kita coba mulai perbaiki negeri yang sakit ini, dan berharap jangan sampai generasi selanjutnya hanya menganggap Indonesia Raya, sekedar orkestra klasik biasa, tanpa meyakini cita-cita besar yang ditanamkan WR Supratman dalam lirik-liriknya. 

Barangkali juga, mungkin kita memang perlu mencontoh satire dari Dedi Mizwar di awal tulisan ini. Mungkin di akhir Indonesia Raya yang kita kumandangkan saban senin itu, perlu kita tambahkan kata "Amiiin." Mungkin dengan begitu, doa WR Supratman agar bangsa Indonesia menjadi Indonesia Raya akan dikabulkan Tuhan.

Kamis, 15 Agustus 2013

Berlebaran Di Kota Seribu Kelenteng

Di hari lebaran seharusnya adalah saat yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Tapi di lebaran beberapa tahun yang lalu, tepat di hari kedua syawal, saya dan beberapa orang kawan malah menyisir jalan raya di pesisir barat Borneo untuk menuju Singkawang, kota seribu klenteng.

Singkawang mungkin lebih terkenal sebagai kota yang kental dengan budaya Tiong Hoa dan perayaan Cap Go Meh-nya. Tapi melewatkan lebaran di Singkawang tetap menjadi salah satu memori yang manis yang tidak bisa dilupakan.


Perayaan lebaran di Singkawang sekilas tampak biasa saja. Pertokoan di pusat kota masih banyak yang tampak buka. Terutama karena kebanyakan pertokoan-pertokoan di Singkawang memang milik para pedagang etnis Tiong Hoa. Karena itu, meski di hari lebaran, tak usah khawatir kesulitan belanja. Malah di Singkawang, kita akan dimanjakan oleh deretan pertokoan-pertokoan. Ada yang masih berupa bangunan tempo dulu, ada juga yang telah menyulapnya menjadi bangunan bergaya moderen. Saya dan kawan-kawan menjuluki Singkawang sebagai Braga-nya Kalimantan Barat bahkan ada teman saya yang menyebutnya sebagai Ginza-nya Indonesia.


Satu hal yang bisa saya tangkap ketika pertama kali sampai di pusat kota adalah betapa masyarakat kota itu rukun dalam perbedaannya. Dua bangunan ibadah tampak berdiri megah dalam jarak yang tak terlalu berjauhan. Yang satu Masjid Agung Singkawang yang tampak megah dengan dua menara menjulangnya. Sementara tak jauh dari sana, Kelenteng Vihara Tri Dharma berdiri kokoh dalam nuansa merah. Saya berkesempatan mengabadikan gambarnya dalam satu frame kamera foto. Sebagai bukti bahwa perbedaan tak selalu menjadi pemicu perpecahan. Bukan hanya itu, ketika saya menginap di rumah salah seorang teman, saya mendapati bahwa sudah menjadi kebiasaan bagi orang Tiong Hoa di Singkawang, untuk ikut berkunjung ke tetangganya yang muslim ketika Idul Fitri. Bukti lain bahwa kerukunan beragama telah terjalin di kota ini.


Menginap semalam di kota Singkawang, membuat saya berkesempatan menikmati keindahan kota itu. Bangunan-bangunan tua yang masih banyak tersisa membuat kota itu tampak kian eksotis. Sulit menemukan suasana kota yang sama seperti di Singkawang. Saya juga berkesempatan menikmati makan malam di Villa Bukit Mas. Sebuah Rastoran sekaligus penginapan yang berada di atas bukit. Dari sana, kita bisa menikmati makan malam sambil mengagumi indahnya pemandangan kota Singkawang malam hari dari ketinggian. Sebuah pengalaman makan malam yang menyenangkan. Sayang saya tidak sedang bersama pasangan.

Esok paginya sebelum pulang, saya dan teman-teman mencoba hiking mendaki ke salah satu bukit di Singkawang yang oleh masyarakat sekitar di sebut gunung Poteng. Sebenarnya di sekitar Singkawang ada banyak objek wisata pantai yang bisa dinikmati, namun karena saya dan teman-teman sudah cukup sering ke pantai, jadi kami memutuskan untuk hiking.

Di puncak gunung poteng ini terdapat sebuah kolam pemandian dengan aliran air gunung yang sejuk dan deras. Sayang tempat pemandian tersebut tidak cukup terawat meski airnya sangat bersih. Namun sebagai tempat untuk mandi dan menikmati sejuknya aliran mata air gunung, rasanya sudah cukup. Apalagi sebelumnya harus berkeringat mendaki bukit tersebut karena jalan menuju tempat pemandian tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan roda empat.

Jumat, 02 Agustus 2013

Book Review : Sepotong Senja Untuk Pacarku



Sukab memang keterlaluan. Demi Alina, orang yang dicintainya, ia nekat memotong senja dengan pisau swiss-nya lalu mengirimkannya pada kekasihnya itu lewat Pos. Akibatnya, ia dikejar-kejar polisi setelah dunia gempar karena telah kehilangan senja. Sialnya lagi tukang Pos yang mengantarkan senja itu tak cukup amanah sehingga senja itu harus tertunda sampai sepuluh tahun untuk akhirnya sampai ke tangan Alina. 

Kalau anda menganggap Sepotong Senja untuk Pacarku sebagai sebuah percintaan gombal ala-ala anak SMA, berarti anda telah tertipu oleh judulnya. Kalau anda juga berfikir buku ini hanya berkisar tentang kisah Sukab memperjuangkan cintanya pada Alina dengan konflik-konflik model sinetron-sinetron Indonesia, oh... anda sudah keliru besar. 

Terdiri dari 13 cerita pendek yang bisa dengan bebas kita nikmati entah itu sebagai potongan kisah yang berdiri sendiri-sendiri ataupun sebagai sebuah kesatuan utuh yang saling berkaitan, Seno Gumira Ajidarma sedang mengajak kita memasuki sebuah dunia baru yang ia ciptakannya. Dunia yang absurd, aneh dan unik. 

Keliaran imajinasi ala SGA, membuat tema-tema sederhana yang diangkatnya terasa menarik dan tidak membosankan. Cerita seorang pria yang mencintai seorang wanita sudah biasa. Tapi ketika si pria nekat mencuri senja untuk membuktikan cintanya, tentu ini jadi tak biasa bahkan tak masuk akal. Tapi ini bukan dunia biasa. Ini dunia ciptaan SGA (saya menyebutnya dunia Sukab) dan hal itu bisa-bisa saja terjadi. 

Begitupun dalam cerita Hujan, Senja dan Cinta. Tentu cerita seseorang lelaki yang setia pada wanita yang dicintainya meski wanita itu sudah menikah dengan lelaki lain terdengar klise. Tapi jika kemudian kesetian itu berwujud dengan hujan yang selalu mengikuti kemanapun si wanita pergi hingga membuatnya jengkel sendiri, saya bisa jamin ini bukan tema pasaran. Tidak masuk akal? Ya. Tapi inikan dunia Sukab. Semua sah-sah saja. 

Meski judulnya agak gombal, namun sebenarnya buku ini bukan kumpulan kisah romance. Praktis hanya dua cerita yang boleh dibilang romantis (Sepotong Senja untuk Pacarku dan Hujan, Senja dan Cinta). Sisanya justru tidak menyuguhkan kisah-kisah romantis. Beberapa seperti cerpen Kunang-Kunang Mandarin malah berbicara tentang sesuatu yang mengerikan. Bahkan cerpen Jawaban Alina (balasan Alina atas senja yang dikirimkan Sukab) justru bercerita tentang musnahnya umat manusia. 

Absurd. Mungkin itulah kesan yang akan anda rasakan begitu selesai membaca buku ini untuk pertama kali. Tapi surealisme khas SGA ini berhasil hadir dengan gurih dan cukup ringan. Sebagian memang akhirnya tetap terasa berat dan sulit untuk dimengerti. Tapi tekhnik penceritaannya yang memikat, membuat kita tetap bisa menikmatinya dari awal hingga akhir. 

Kalau anda selama ini cuma terbiasa dengan cerita-cerita teenlit, mungkin akan terbengong-bengong dengan keanehan dan segala hal tak masuk akal dalam cerita di buku ini. Tapi kisah-kisah di Sepotong Senja untuk Pacarku memang tidak untuk dibenturkan dengan logika. Nikmati saja, sambil sedikit-sedikit cobalah maknai metafora-metafora di dalamnya. Setidaknya anda mungkin jadi bisa setuju dengan saya bahwa dunia yang sempit ini tidak cukup untuk membatasi imajinasi manusia. 

Rate: 4/5 

Judul buku : Sepotong Senja untuk Pacarku 
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 
Tahun Terbit : Januari 2002 
Jumlah Halaman : 218 

Daftar isi : 
– Sepotong Senja untuk Pacarku 
– Jezebel 
– Ikan Paus Merah 
– Kunang-kunang Mandarin 
– Rumah Panggung Tepi Pantai 
– Peselancar Agung 
– Hujan, Senja dan Cinta 
– Senja Hitam Putih 
– Mercusuar 
– Anak-anak Senja 
– Senja yang Terakhir 
– Jawaban Alina 
– Tukan Pos dalam Amplop