Selasa, 18 September 2012

Mengenal Sosok Sultan Hamid II : Nasionalisme Sang Federalis

“Sejak lahirnya, organisasi ini ditujukan pada tercapainya kemerdekaan tanah air kita, kemerdekaan untuk segenap bagian tanah air kita, dan untuk mencapai suatu persatuan yang dapat menjamin kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagian-bagiannya,” suara lelaki keturunan melayu-arab itu menggema memenuhi ruangan istana kepresidenan RI di Yogyakarta. Ia memang tidak seulung sang orator, Soekarno, tapi tak pelak semua orang di ruangan itu menyutujui apa yang diucapkannya.

Hari itu, 19 Juli 1949. Di Yogyakarta sedang dihelat sebuah pertemuan super penting dalam sejarah negeri ini. Tepat setahun sebelum diadakannya pertemuan penting lainnya yang kemudian kita kenal dengan sebutan Ronde Tafel Conferentie atau Konfrensi Meja Bundar.

Ya, hari itu adalah hari pertama Konfrensi Inter-Indonesia (KII). Dan lelaki tampan yang berbicara untuk pembukaan konfrensi tersebut adalah pemimpin Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), sebuah organisasi kerjasama dari pemimpin negara-negara federal yang terbentuk pasca perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville. Dialah Sultan Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie, atau dalam sejarah bangsa ini lebih dikenal dengan gelar kesultanannya, Sultan Hamid II. Sultan kedelapan dinasti Al-Qadrie dari kesultanan Pontianak sekaligus kepala negara Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).

Setahun setelah Konfrensi Inter-Indonesia yang berhasil menemukan kesamaan kata antara BFO dan NRI (Negara Republik Indonesia), dilaksanakanlah Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Hag, Belanda. Dalam pertemuan itu, Sultan Hamid II menjadi pemimpin delegasi BFO. Sementara delegasi Indonesia (NRI) dipimpin oleh Mohammad Hatta, dan delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseven.

Akhir dari konfrensi ini adalah Negara Belanda dan Negara Republik Indonesia (NRI) sama-sama menyerahkan kedaulatan kepada sebuah negara baru yang merdeka dan berdaulat bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam RIS, selain NRI, juga akan bergabung negara-negara yang sudah terhimpun dalam BFO. Pada titik inilah sesungguhnya Indonesia baru benar-benar meraih kemerdekaannya baik secara defacto maupun yuridis.

Saya dan sebagian besar generasi ini, bukan orang-orang yang merasakan langsung gegap gempitanya era itu. Kami juga hanya mengenal nama-nama penting masa itu dari literatur-literatur sejarah yang terus saja diajarkan kepada kami semenjak dari bangku pendidikan paling dasar. Dan kami tak pernah tahu, entah kemana hilangnya nama Sultan Hamid II serta peran besarnya bagi bangsa ini hingga alpa untuk dikisahkan pada generasi kami.

Sejarah bangsa ini lupa mencatat namanya meski peran sang pewaris tahta terakhir kesultanan pontianak itu sangatlah besar. Kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada RIS tidak terlepas dari usahanya yang memang memiliki kedekatan dengan Ratu Juliana karena pernah menjadi Asisten Ratu Kerajaan Belanda. Belum lagi peran beliau yang juga merupakan perancang Garuda Pancasila yang hingga kini masih kita pakai sebagai lambang negara. Orang mengenal WR Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya. Orang mengingat Ibu Fatmawati sebagai penjahit bendera pusaka merah putih. Namun sedikit sekali yang mengingat Sultan Hamid II sebagai perancang Garuda Pancasila, padahal dalam tiap laga sepak bola tim nasional, kita selalu saja meneriakkan “Garuda di dadaku!” dengan segenap rasa patriotisme yang kita miliki.

Jika sejarah bangsa ini lebih banyak mencatat Sultan Hamid II sebagai pengkhinat bangsa, hal ini tentu harus diluruskan. Ia adalah orang yang tetap memilih berada dalam naungan Republik Indonesia Serikat di meja runding KMB padahal kala itu sebenarnya Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) adalah satuan kenegaraan sendiri yang bahkan sudah resmi terdaftar di PBB. Jika saja mau, sang sultan bisa saja memilih membawa daerah yang dipimpinnya itu untuk menjadi negara merdeka yang terpisah dari Indonesia. Namun karena rasa nasionalisme beliau, DIKB tetap bergabung dengan RIS setelah sidang KMB 1949. Tapi entah mengapa masih saja ada yang meragukan rasa kebangsaannya hanya karena ia menganggap federalisme adalah sistem yang lebih cocok untuk negara ini ketimbang unitarisme (negara kesatuan) yang saat itu lebih disukai oleh tokoh-tokoh bangsa di republik ini.

Kini, hampir 35 tahun setelah Sultan Hamid II wafat, bangsa ini seharusnya menyadari kebenaran pandangan-pandangan visioner beliau. Sentralisme segala bidang yang berlangsung bertahun-tahun membuat adanya disparitas ekonomi, pendidikan dan pembangunan antara pusat dan daerah yang sedemikian jauh. Akibatnya, disintegrasi bangsa yang dulu menjadi alasan para tokoh negeri ini menolak sistem federal, kini justru tumbuh di negeri yang menyebut dirinya Negara Kesatuan, namun tak sanggup memberikan kesejahteraan yang adil keseluruh masyarakatnya. Otonomi daerah yang diberlakukan sekarang mungkin belum terlambat, tapi jika kita mengingat bahwa gagasan-gagasan serupa pernah disuarakan oleh seorang tokoh nasional berpuluh-puluh tahun silam, tentu otonomi yang ada ini menjadi sangat terlambat.

Generasi ini mengenal sosok Sultan Hamid II hanya sebagai potongan fragmen sejarah yang tersingkirkan. Tidak ada namanya di deretan daftar nama Pahlawan Nasional. Tidak juga jasa-jasa besarnya kita baca dalam buku-buku pelajaran sejarah di berbagai jenjang pendidikan secara lengkap. Namanya malah lebih sering dikait-kaitkan dengan pemberontakan Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang sudah dinyatakan tidak terbukti kebenarannya oleh banyak pakar hukum dan ahli sejarah.

Sejarah adalah alat untuk bercermin. Bangsa ini harus meluruskan kembali catatan sejarah yang pernah dikeruhkan oleh tangan-tangan kekuasaan dan kepentingan sejak lama. Semuanya agar generasi bangsa ini bisa melihat sejarahnya dengan jernih dan menjadikannya tempat berpijak untuk melangkah ke depan. Juga agar orang-orang hebat seperti Sultan Hamid II beserta pemikiran-pemikirannya tidak hilang dari ingatan.

Sultan Hamid II adalah salah seorang putra terbaik yang pernah dimiliki Kalimantan Barat. Ia adalah inspirasi perjuangan bagi generasi muda bangsa ini, dan Kalbar pada khususnya. Ia adalah bukti bahwa sejarah bangsa ini tidak hanya melulu dicatat dengan latar Jakarta atau Yogyakarta. Tapi juga dengan latar dan wajah daerah semisal Pontianak atau Kalimantan Barat.

Jika semenjak dibubarkannya Daerah Keistimewaan Kalimantan Barat (DIKB) di penghujung tahun 1950, hilang jugalah kekhususan dan kemandirian Kalbar yang dahulu sempat diwujudkan oleh Sultan Hamid II dan para raja, sultan, penembahan dan para tokoh masyarakat Kalimantan Barat kala itu. Namun bukan berarti padam jugalah perjuangan untuk meraih kembali kemandirian dan keistimewaan daerah ini. Generasi muda Kalbar hari inilah yang berkewajiban meneruskan semangat Sultan Hamid II yang menginginkan masyarakat Kalbar yang maju dan sejajar dengan Jakarta yang pada eranya dahulu menjadi tempat terpusatnya pembangunan.

Saya percaya Kalimantan Barat mempunyai segalanya untuk maju dan sejajar dengan daerah lain. Yang harus dilakukan saat ini adalah mengerahkan segala energi yang dipunya untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan sejati. Kemerdekaan yang terwujud dalam keadilan dan kesejahteraan. Kemerdekaan seperti yang dicita-citakan oleh Sultan Hamid II yang juga saya kutip di awal tulisan ini: “Kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagian-bagiannya.”